Senin, 16 Maret 2015

MURAH HATI

MURAH HATI

Kisah para Rasul 2:44-47

"Dan semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan."

Jemaat yang pertama memiliki cara hidup yang selalu bersatu dan saling tolong-menolong dengan penuh kasih. Yang memiliki harta lebih memenuhi kebutuhan yang kekurangan. Cara hidup jemaat pertama sungguh patut kita teladani, sebagai gaya hidup yang tidak mementingkan diri sendiri. Pada masa sekarang, keadaan seperti ini semakin langka kita temui. Dalam 2 Timotius 3:1-3, Rasul Paulus mengatakan bahwa manusia pada hari-hari terakhir atau pada akhir zaman akan hidup di masa yang sukar. Manusia cenderung akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang, dan tidak tahu mengasihi.

Pada masa sekarang, kasih sungguh semakin tipis. Semakin jarang ditemukan orang yang mau menolong orang lain. Yang paling sering kita dengar adalah berita tentang kejahatan yang semakin merajalela. Sekarang ini orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, termasuk korupsi yang sama artinya dengan mencuri, merampas, dan merampok.

Ada dua fakta menarik yang dapat kita pelajari dari Kisah para Rasul 2:44-47 ini. Ayat 44-45 menjabarkan tentang kemurahan hati jemaat pertama, dan ayat 47 menceritakan betapa jemaat pertama disukai oleh semua orang. Dengan kata lain kemurahan hati jemaat pertama, yang selalu memberi dengan tulus, membawa dampak positif. Mereka membuat orang lain terkesan akan kemurahan hati mereka sehingga gaya hidup jemaat pertama diingat dan dicatat dalam Alkitab.

Ada peribahasa yang mengatakan, "Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama." Bila Anda mati, warisan apakah yang Anda tinggalkan untuk keluarga dan komunitas Anda? Kenangan apakah tentang Anda yang tersimpan dalam pikiran orang-orang yang mengenal Anda? Tidak dapat dipungkiri, bila Anda memiliki anggota keluarga atau teman yang sudah dipanggil Tuhan, lalu tiba-tiba Anda teringat akan orang tersebut, apakah yang ada dalam memori Anda? Si A orangnya begini, si B orangnya begitu, dan seterusnya. Coba Anda renungkan, bila aku mati nanti, apakah yang akan dikenang orang tentang aku?

Ilustrasi: Ada sebuah cerita tentang seorang kapten kapal  yang gemar berpetualang. Ia memiliki sebuah kapal besar dengan beberapa awak kapal. Dalam penjelajahannya mengarungi samudra, ia singgah di berbagai pulau. Di pulau pertama yang ia singgahi, ia hanya menyaksikan kesedihan belaka. Anak-anak yang kurang gizi, suku-suku yang berperang satu dengan yang lain. Tak ada sekolah, dan tak ada pelayanan kesehatan. Yang ia temui hanyalah kemiskinan.

Di pulau yang kedua dan di beberapa pulau berikutnya, ia menemui hal yang sama. Hanya kemiskinan dan penderitaan yang ia saksikan. Sang kapten menarik nafas panjang dan hanya bisa berkata dalam hatinya, "Kasihan sekali, tak ada harapan bagi orang-orang ini, namun aku tak dapat berbuat apa-apa." Lalu dalam perjalanan pulang untuk mengakhiri petualangannya, ia singgah ke sebuah pulau yang besar, yang lebih besar dibandingkan dengan pulau-pulau sebelumnya. Orang-orang di pulau ini tampak sehat dan kuat. Ada sistem irigasi yang mengairi sawah-sawah di pulau ini, dan bahkan ada jalan setapak yang menghubungkan desa-desa. Anak-anak di pulau ini terlihat gembira dengan mata yang berbinar-binar.

Sang kapten merasa terheran-heran melihat keadaan di pulau ini yang jauh lebih baik dibandingkan dengan pulau-pulau lain yang telah ia kunjungi sebelumnya. Dengan penuh rasa ingin tahu, ia bertanya kepada kepala suku di pulau tersebut bagaimana pulau ini dapat begitu berkembang dan jauh lebih maju dari pulau-pulau yang lain. Sang kepala suku dengan penuh semangat menjawab, "Ini semua karena Bapa Benjamin. Ia mengajar kami dalam segala hal, pertanian, kesehatan, perikanan, dan lain-lain. Ia juga membangun sekolah-sekolah, klinik kesehatan, dan juga menggali sumur-sumur."

Kapten bertanya, "Dapatkah saya bertemu dengan Bapa Benjamin?" Kepala suku menganggukkan kepala, lalu ia memberi tanda kepada dua orang penduduk pulau ini untuk menemaninya. Mereka bertiga membawa kapten kapal melewati sebuah hutan. Ternyata di balik hutan itu ada sebuah klinik kesehatan yang luas namun sederhana. Klinik itu dilengkapi dengan ranjang-ranjang yang bersih. Kepala suku menunjukkan rak-rak berisi peralatan medis dan obat-obatan. Ia bahkan memperkenalkan kapten kepada beberapa staf medis yang terlihat ramah dan kompeten. Sang kapten merasa terkesan, namun ia juga merasa heran karena tak bertemu dengan Bapa Benjamin. Ia mengulangi pertanyaannya kepada kepala suku, "Saya ingin bertemu dengan Bapa Benjamin. Dapatkah Anda membawa saya ke tempat beliau tinggal?"
  
Kepala suku dan dua orang penduduk yang turut bersamanya terlihat bingung. Lalu mereka berunding dengan menggunakan bahasa mereka sendiri. Tak lama kemudian kepala suku berkata, “Ikuti kami ke bagian yang lain dari pulau ini.” Mereka berjalan sepanjang tepi pantai dan tiba di sebuah tempat yang penuh dengan berbagai kolam penampungan ikan. Kanal-kanal atau terowongan-terowongan menghubungkan kolam ikan dengan laut. Saat air laut pasang, ikan-ikan berpindah dari laut masuk ke kolam-kolam ikan tersebut. Penghuni pulau lalu menutup pintu kanal dan memanen ikannya.

Sekali lagi sang kapten merasa terkesan dengan cara kerja para nelayan dan orang-orang yang bekerja di kolam penampungan ikan tersebut. Namun ia tak bertemu dengan Bapa Benjamin, ia merasa heran apakah ia kurang jelas menyampaikan keinginannya untuk bertemu dengan Bapa Benjamin, sehingga sekali lagi ia berkata, “Saya tidak melihat Bapa Benjamin di sini. Tolong bawa saya ke tempat tinggal beliau.” Kembali ketiga orang itu berunding dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh sang kapten.

Kemudian kepala suku berkata, “Mari kita pergi ke gunung.” Mereka memimpin sang kapten mendaki gunung melalui jalan kecil dan curam. Setelah melalui pendakian yang berat, mereka tiba di depan sebuah gereja yang beratapkan jerami. Lalu kepala suku berbicara dengan suara pelan dan penuh keharuan, “Bapa Benjamin juga mengajar kami mengenal Tuhan.” Ia mengajak kapten memasuki gereja dan menunjukkan kepadanya altar, sebuah salib yang besar, beberapa bangku gereja, dan sebuah Alkitab.

Kapten bertanya, “Apakah di sini tempat Bapa Benjamin tinggal?” Ketiga orang itu tersenyum dan menganggukkan kepala. Kapten bertanya lagi, “Dapatkah saya berbicara dengan beliau?” Tiba-tiba mimik wajah mereka bertiga menjadi serius dan kepala suku berkata, “Wah, itu tidak mungkin.” Dengan heran kapten bertanya, “Mengapa?” 

Kepala suku menjawab, “Ia sudah meninggal bertahun-tahun yang lalu.” Dengan kebingungan kapten menatap mereka bertiga dan berkata, “Saya mengatakan ingin bertemu dengan Bapa Benjamin, dan kalian menunjukkan kepada saya sebuah klinik, beberapa kolam ikan, lalu gereja ini. Namun kalian sama sekali tidak menceritakan tentang kematiannya.”

Kepala suku menjelaskan, “Anda juga tidak bertanya tentang kematian beliau. Anda berkata ingin melihat tempat di mana Bapa Benjamin tinggal. Dan kami telah menunjukkan kepada Anda.”

               
Cerita ini kedengarannya lucu, namun memiliki arti yang mendalam. Sekalipun secara jasmani Bapa Benjamin telah tiada, namun warisannya masih hidup dan terus dikenang. Sama seperti cara hidup jemaat pertama yang selalu dikenang karena hidup mereka penuh dengan kemurahan, Bapa Benjamin juga dikenang karena memiliki kasih yang membangun orang-orang di sekelilingnya.

Bagaimana dengan hidup kita? Apakah hidup kita membawa dampak bagi orang lain?  Kita akan belajar tentang murah hati. Belajar dari kehidupan jemaat pertama, kemurahan hati adalah hal yang paling praktis dan paling tepat sasaran untuk membawa dampak bagi orang lain.  Selain itu, Tuhan Yesus juga mengatakan agar kita murah hati.
Lukas 6:36  “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”

Perintah Tuhan ini jelas, Bapa di surga murah hati. Karena itu kita harus mengikuti teladan Bapa. Kebenaran Firman Tuhan ini sederhana sekali dan mudah dipahami. Intinya kita harus murah hati, suka memberi. Memberi bisa dalam berbagai bentuk: memberi pertolongan bantuan tenaga, memberikan waktu kita untuk melayani orang yang kesusahan, atau yang paling nyata adalah memberikan bantuan dana, jika kita memilikinya. Namun pada kenyataannya, mengapa mempraktekkan hal ini begitu sukar? Apa yang menghalangi kita sehingga tidak dapat bermurah hati?

Ada 4 (empat) hal yang menjadi penghalang:
1.       KEEGOISAN ATAU KETAMAKAN
2.       SUKA MENGHAKIMI ORANG LAIN & PEMBENARAN DIRI
3.       KEKERASAN HATI (sehingga tidak peka mendengar suara Roh Kudus)
4.       KEKUATIRAN (sebagai tanda bahwa tidak percaya penuh pada Allah)

Penjelasan:
(1)    KEEGOISAN ATAU KETAMAKAN

2 Timotius 3: 2 berkata bahwa manusia pada akhir zaman, yakni masa sekarang ini akan mencintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Orang yang mencintai diri sendiri atau egois dan menjadi hamba uang tidak akan pernah merasa cukup. Ia akan seperti lintah yang digambarkan dalam Amsal 30:15, segalanya untukku dan untukku. Orang yang egois tidak bisa mengucap syukur atas segala hal yang sudah Tuhan beri, ia akan selalu merasa kurang bagi dirinya sendiri, sehingga tidak ada bagian yang bisa diberikan kepada orang lain. Meskipun orang ini sudah diberkati Tuhan dengan limpah, ia selalu merasa kurang. Ia beralasan, “Memang berkat Tuhan lebih dari cukup untukku, namun aku kan harus menyimpan harta untuk anak-anakku kelak.” Jadi walaupun sudah cukup bagiku, namun itu belum cukup untuk anak-anakku, untuk suamiku atau istriku, untuk keluarga besarku. Yang jelas, “BELUM CUKUP UNTUKKU!” Orang yang mementingkan diri sendiri dan tamak akan harta selamanya tidak akan pernah bisa memberi.

(2)    SUKA MENGHAKIMI ORANG LAIN & PEMBENARAN DIRI

Penghalang kedua yang menghalangi kita untuk bermurah hati adalah sifat kita yang suka menghakimi orang lain. Orang yang suka menghakimi orang lain selalu menganggap dirinya sendiri yang paling benar. Ia suka menuduh dan menghakimi orang lain. Bila melihat teman atau kerabat yang berada dalam kesusahan, ia tidak mau menolong. Sebaliknya ia mencari pembenaran diri dan mengandalkan logikanya. Dalam hatinya ia akan berkata, “Orang itu pemalas, untuk apa aku tolong. Dulu hidupku susah juga tidak ada orang yang menolong. Karena aku mau bekerja keras maka aku bisa sukses seperti sekarang ini. Biar dia berusaha sendiri, kalau aku tolong, nanti dia jadi tambah malas!” Ia lupa bahwa dulu dari hidup susah bisa menjadi sukses karena pertolongan Tuhan, karena Tuhan yang membuka jalan bagi kesuksesannya. Ia sukses karena Tuhan menempatkan orang-orang yang tepat untuk berbisnis dengannya. Ia tidak menyadari bahwa bisa saja ia yang akan dipakai oleh Tuhan untuk menjadi penolong agar teman atau kerabatnya dapat menjadi orang yang sukses juga. 

Terkadang kita merasa bahwa kita harus mengandalkan akal budi atau logika kita. Akibatnya kita menjadi terlalu pintar berdalih. Betapa sering kita mendengar orang yang mengatakan bahwa ia tidak mau memberi pertolongan meskipun ia sebenarnya mampu, karena ia merasa Tuhan tidak menyuruhnya atau ia tidak mendengar Tuhan berbicara kepadanya. “Aku sudah berdoa dan bertanya kepada Tuhan, apakah aku harus memberi pertolongan kepada orang itu, namun Tuhan tidak menjawab. Berarti Tuhan tidak memintaku untuk memberi!” Ini kelihatannya keren, rohani banget! Namun Anda tidak sadar bahwa Anda sudah terkena tipu daya iblis!
   
Sudah jelas jawaban Tuhan ada tertulis dalam Alkitab, Filipi 4:5 berkata, “Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang.” Bagaimana orang bisa mengetahui kalau Anda baik hati bila Anda tidak bermurah hati menolong orang lain? Lukas 6:36,  “Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.” Mengapa lagi masih harus tanya Tuhan? Apakah Firman Allah ini masih kurang jelas? Bila Anda ingin mendengar suara Tuhan terlebih dulu, barulah Anda bersedia memberi, maka Anda tidak akan pernah memberi.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa kita tidak perlu berdoa dan bertanya kepada Tuhan dalam mengambil keputusan. Doa sangat perlu untuk mengasah kepekaan kita akan suara Tuhan. Namun untuk hal-hal yang sudah jelas-jelas merupakan perintah Tuhan, kita tidak perlu ragu untuk melakukannya. Sebagai contoh, misalkan Anda membenci seorang teman Anda karena ia telah berbuat jahat kepada Anda. Lalu suatu hari ada hamba Tuhan yang menyarankan agar Anda mengampuni dia. Apakah dalam hal ini Anda masih perlu tanya Tuhan? Bukankah Firman Allah sudah jelas berkata supaya kita mengampuni orang yang bersalah kepada kita supaya Bapa di surga juga mengampuni kita?



Terkadang akal budi kita terlalu pintar membuat alasan-alasan sebagai dalih agar kita tidak memberi. Mungkin Anda berkata, “Siapa tahu Tuhan sedang memproses teman atau kerabatku yang sedang dalam kesusahan itu. Kalau aku beri dia uang, kalau aku tolong dia, jangan-jangan aku malahan merusak rencana Tuhan yang sudah Tuhan buat untuk dia!” Luar biasa, bukan? Kedengarannya teramat sangat rohani!
 
Kesaksian: Saya pernah merasa sangat bimbang apakah saya harus menolong seorang saudara sepupu yang sedang dalam kesusahan, sebut saja ia si A. Hati saya sangat tergerak untuk menolong sepupu saya tersebut, saya merasa kasihan kepada si A. Dulu hubungan saya dengan sepupu saya itu tidak terlalu baik, karena karakternya kurang baik, dan ia juga sudah sering meminta uang ke ibu saya dengan berbagai alasan. Ia sudah bekerja namun sepertinya penghasilannya selalu tidak cukup. Namun ada beberapa hal yang membuat saya ragu. Pertama, pada saat itu uang saya miliki tidak banyak, kalau saya berikan uang saya yang tersisa kepada sepupu saya itu, berarti saya tidak bisa menabung di bulan itu. Kedua, saat saya bertanya kepada saudara sepupu saya yang lain, yang kebetulan juga seiman, ia malah balik bertanya, “Apakah kamu sudah berdoa, bertanya kepada Tuhan tentang hal ini?” Hal ketiga yang membuat saya ragu, ketika saya bertanya kepada seorang teman untuk meminta pendapatnya, ia berkata, “Sebaiknya tidak usah kamu tolong, mungkin Tuhan sedang memproses dia, biarkan saja.”

Ketiga hal tersebut membuat saya bimbang. Namun anehnya, di tengah kebimbangan hati saya, di saat bersamaan, saya merasa kasihan dan saya benar-benar ingin menolong si A. Lalu saya memutuskan untuk berdoa. Dalam doa saya, saya tak berhenti menangis dengan sedihnya. Saya berkata kepada Tuhan, saya bilang, “Tuhan, apakah saya salah kalau saya ingin menolong si A? Firmanmu berkata supaya anak-anak-Mu bermurah hati dan memberikan pertolongan, terutama untuk saudara seiman. Apakah kalau aku menolong si A, aku dapat merusak rencana yang Engkau buat untuk dia?

Saya tak tahu berapa lama saya berdoa. Namun Tuhan itu sungguh baik, saat kita sungguh-sungguh minta petunjuk kepada Dia, Allah menjawab. Dalam pikiran saya bermunculan bagian-bagian Firman Tuhan yang berkata: “Allah itu Maha Kuasa, Ia yang menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya. Ia Maha Besar, langit adalah tahta-Nya dan bumi adalah tumpuan kaki-Nya. Siapakah yang sanggup melawan Dia?” Lalu juga timbul pikiran yang berkata: “Kamu ini siapa, masa kamu bisa menghalangi rencana Allah?

Tuhan memberikan jawaban dan peneguhan tidak setengah-setengah. Setelah saya berdoa, saya membaca sebuah buku. Dan Allah juga memberikan peneguhan lagi lewat buku itu, jawabannya tidak ditunda-tunda, saat itu juga. Sehingga saya yakin ini bukanlah suatu kebetulan.
Ilustrasi: Dalam buku itu ada kisah tentang dua orang pendeta yang menghadiri sebuah seminar di sebuah gereja di luar kota. Setelah seminar selesai, dua orang pendeta ini masih belum beranjak dari tempatnya karena mereka berdua sedang asyik berdiskusi. Tiba-tiba seorang pria gelandangan masuk ke gereja. Ia meminta bantuan dan bercerita bahwa ia sebenarnya punya beberapa anak, namun anak-anaknya tak ada yang mau merawatnya setelah ia tua. Ia mengatakan bahwa ia sering sakit punggung namun tak dapat berobat. Pemerintah tidak memberikan tunjangan pensiun untuknya. Ia memohon supaya diberi uang agar bisa membeli tiket bus untuk kembali ke desanya. Saat gelandangan itu mendekat, dari bajunya tercium bau alkohol. 

Pendeta yang pertama, yang bernama Max, menyilangkan tangannya, ia merasa skeptis, tidak percaya pada cerita gelandangan itu. Mimik wajahnya sinis dan dengan menggunakan bahasa tubuh atau body language ia seakan-akan memberi tanda kepada pendeta kedua, yang bernama Stanley, agar tidak menolong gelandangan tersebut. Namun Stanley tidak menanggapi isyarat Max. Ia serius mendengarkan cerita gelandangan itu. Setelah gelandangan itu selesai bercerita, Stanley mengajaknya ke pastori, memberi gelandangan itu sepiring makanan, memberinya uang, dan memberikan satu kantong plastik berisi sembako sebagai bekal.

Sementara mereka berdua menyaksikan gelandangan itu pergi, dengan mata berkaca-kaca dan penuh dengan belas kasih Stanley berkata kepada temannya, “Max, aku tahu apa yang sedang kau pikirkan. Ia mungkin berbohong, tapi bagaimana kalau ternyata ceritanya itu benar? Bagaimana kalau ternyata ia bukan seorang peminum, dan bau alkohol di bajunya karena ia tinggal bersama dengan gelandangan lain yang kebetulan adalah pemabuk?

Max hanya melihat dari luar dan menghakimi. Namun Stanley melihat dengan mata Yesus, yakni mata yang penuh dengan belas kasihan.

Setelah membaca cerita tersebut, saya tidak ragu untuk menolong sepupu saya itu. Saat itu juga menjadi titik balik dalam hidup saya, agar tidak pernah ragu menolong orang lain, semampu yang saya bisa.

(3)    KEKERASAN HATI (sehingga tidak peka mendengar suara Roh Kudus)
Hal ketiga yang menghalangi kita untuk menjadi orang yang murah hati adalah kekerasan hati kita. Betapa sering kita mendengar saudara seiman kita bersaksi dan berkata bahwa ia ingin lebih dekat dengan Tuhan, ingin lebih peka mendengar suara Tuhan. Bukankah kita sendiri terkadang juga berdoa seperti itu? “Tuhan, aku ingin lebih dekat padamu, aku ingin mengenal Engkau lebih baik, aku ingin lebih peka mendengar suara-Mu.”

Tanpa kita sadari, sebenarnya Tuhan sering berbicara kepada kita melalui orang-orang di sekeliling kita yang memerlukan pertolongan kita. Saat dalam hati kita timbul belas kasihan, sebenarnya saat itulah Tuhan berbicara lewat suara Roh Kudus agar kita memberikan pertolongan. Masih ingatkah Anda akan cerita kapten kapal tadi yang merasa kasihan melihat keadaan penduduk di pulau-pulau miskin yang ia kunjungi? Ia merasa kasihan, namun ia berpikir bahwa ia tak dapat berbuat apa-apa. Padahal sebenarnya ia adalah seorang yang kaya, yang mampu untuk menolong asalkan ia mau.

Dalam pelayanan Tuhan Yesus selama tiga setengah tahun yang tercatat dalam Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes. Setiap kali Yesus hendak memberikan pertolongan, seringkali ada kalimat yang mengatakan: “Maka tergeraklah hati Yesus oleh belas kasihan.”  Contoh dapat dilihat dalam Matius 9:36, Matius 14:14, Matius 20:34, Lukas 7: 13, dll. Jadi saat hati Anda tergerak, itu berarti tanda dari Roh Kudus agar Anda mulai bergerak dan bertindak! Jangan abaikan suara kecil di hati Anda. Jangan biarkan akal budi dan logika menghalangi Anda untuk memberi dan menolong orang lain. Jangan biarkan akal budi Anda berdalih, “Kalau aku tolong dia terus, nanti dia tidak bisa bertumbuh imannya!

Apakah orang yang seharusnya Anda tolong itu nantinya akan bertumbuh atau tidak imannya, itu bukan tanggung jawab Anda atau bagian Anda untuk mengerjakannya. Setiap orang bertanggung jawab atas pertumbuhan imannya sendiri-sendiri. Bagian kita adalah taat kepada suara Roh Kudus yang telah menggerakkan hati kita dengan belas kasihan.


Kepekaan mendengar suara Roh Kudus itu perlu dilatih. Semakin kita taat setiap kali Roh Kudus berbicara kepada kita, maka akan semakin sering kita mendengar suara-Nya. Bila setiap kali Roh Kudus menggerakkan hati kita, tapi kita abaikan, maka Roh Kudus pun tak akan memaksa. Ia akan semakin menjauh dan tak akan lagi berbicara kepada kita.

Kita perlu melakukan General Repetition, yakni latihan rutin. Setiap pencobaan yang kita alami dalam kehidupan ini merupakan latihan rutin untuk memurnikan dan meningkatkan iman kita. Seorang penyanyi harus sering latihan vokal supaya kualitas suaranya tetap terjaga. Seorang atlet harus terus berlatih agar ketangkasannya meningkat dan staminanya tetap terjaga. Demikian juga dalam hal memberi, seseorang tidak dapat menjadi murah hati secara instan. Itu juga memerlukan general repetition, latihan rutin. Bila setiap kali Roh Kudus menggerakkan hati Anda dengan belas kasihan untuk memberi, untuk menolong orang lain, lalu Anda mau melakukannya lagi dan lagi berulang kali. Maka lama-kelamaan Anda akan menjadi seseorang yang murah hati.

Kalau ada teman atau saudara seiman yang mengajak Anda untuk menabur dan menolong orang lain, gunakan ini sebagai suatu kesempatan untuk melatih kemurahan hati Anda. Belajarlah memberi dengan apa yang ada pada Anda. Meskipun Anda tidak punya dana, Anda masih punya waktu, daya atau tenaga, bukan? Saya mendapatkan contoh yang pas untuk ini dari sebuah film yang saya tonton sewaktu hari libur nasional. Judul filmnya adalah The Brooke Ellison Story. Film ini adalah film yang sarat dengan pembelajaran. Saya pun belajar banyak dari film ini. Film ini bercerita tentang sebuah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan tiga orang anak. Si sulung perempuan berumur sekitar 14 th. Yang kedua adalah Brooke Ellison, umur sebelas tahun. Dan yang bungsu laki-laki berumur sekitar 6 tahun. 

Suatu hari sepulang sekolah, Brooke mengalami kecelakaan ditabrak mobil. Cederanya fatal, ia mengalami kelumpuhan dari leher ke bawah. Lehernya harus dilubangi untuk memasukkan selang untuk bernafas. Seumur hidupnya ia harus seperti ini, tanpa alat bantu pernafasan ia akan mati. Selama sembilan bulan pertama ia hidup di pusat rehabilitasi, tempat orang-orang dilatih untuk menyesuaikan diri menerima kondisi mereka yang cacat permanen. 

Walaupun dalam kondisi seperti ini, Brooke tidak patah semangat, ia ingin terus belajar dan bersekolah  kembali.  Akhirnya orang   tuanya   memutuskan  untuk  membawa  Brooke  pulang  dan merawatnya sendiri di rumah. Namun keluarga Brooke bukanlah keluarga kaya. Mereka adalah keluarga sederhana. Ayah Brooke bekerja di dinas sosial dan ibunya hanyalah seorang guru. Untuk bisa membawa Brooke pulang ke rumah, mereka harus merenovasi rumah mereka. Pintu utama harus dijebol dan diperlebar supaya kursi roda Brooke bisa masuk. Kursi rodanya sangat besar karena diperlengkapi dengan berbagai sensor syaraf yang canggih, dan juga dilengkapi dengan tabung oksigen. Kamar Brooke juga harus diperluas, dinding-dinding penyekat dalam rumah pun harus disingkirkan supaya Brooke dapat bergerak dengan leluasa di dalam rumah dengan menggunakan kursi rodanya. 

 Yang menjadi masalah, pihak asuransi hanya mau memberikan ganti rugi perawatan selama Brooke masih berada di pusat rehabilitasi rumah sakit. Namun begitu ia meninggalkan rumah sakit, pihak asuransi tidak bersedia membiayai rawat jalan. Orang tua Brooke tak lagi punya dana untuk merenovasi rumah, dan selama rumah belum direnovasi, Brooke tidak bisa pulang. Ayah Brooke berusaha mengajukan pinjaman ke bank, namun ditolak, karena ia masih memiliki tanggungan KPR, kredit kepemilikan rumah yang masih berjalan.

Kisah ini menjadi begitu menyentuh ketika sang ayah dengan dua anaknya yang lain, yakni kakak perempuan dan adik laki-laki Brooke bergotong royong mencoba menjebol dinding rumah. Saat sepertinya tak ada harapan, tak ada bantuan, tiba-tiba para tetangga datang dengan membawa berbagai peralatan pertukangan. Mereka memang tidak dapat memberikan bantuan dana, karena lingkungan tempat keluarga Brooke tinggal bukanlah kawasan elit tempat orang kaya, namun para tetangga memberikan bantuan tenaga yang sangat berarti. Bantuan para tetangga membuat renovasi dapat terlaksana dengan cepat, dan terlebih lagi, ini memberikan dorongan psikologis bagi keluarga Brooke. Keluarga Brooke yang merasa putus asa dan mulai kehilangan pengharapan, dikuatkan kembali oleh kebaikan hati para tetangga mereka.

Mungkin Anda merasa, tidak banyak sumber daya yang Anda miliki untuk menolong orang lain. Namun mari kita belajar dari film ini, sekecil apapun bantuan yang Anda berikan, entah itu doa, daya, ataupun dana, akan sangat berharga bagi orang yang menerimanya. Jangan keraskan hati Anda, saat Roh Kudus dengan lembut membangkitkan compassion atau belas kasihan di hati Anda.

(4)    KEKUATIRAN (sebagai tanda bahwa tidak percaya penuh pada Allah)

Penghalang keempat yang membuat orang tak dapat bermurah hati adalah kekuatiran. Seringkali kita tidak bisa menabur atau menolong orang lain karena kita merasa tidak memiliki cukup persediaan untuk hari esok. Mungkin Anda berpikir, “Kalau aku tolong dia dengan uangku yang pas-pasan ini, nanti apa yang harus ku pakai untuk membayar uang sekolah anakku? Bulan depan uang semester anak-anak sudah jatuh tempo. Bulan-bulan yang lalu penghasilan keluargaku pas-pasan, masa kalau sekarang ada berkat lebih harus kuberikan kepada orang lain?

Bila Roh Kudus menggerakkan hati Anda dengan belas kasihan, sehingga timbul keinginan di hati Anda untuk memberi, jangan ragu untuk memberi. Jangan kuatir akan hari esok, sebab Allah kita adalah Allah yang luar biasa baik. Ingat perkataan Tuhan Yesus dalam Matius 5:7Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan.” Saat Anda mau memberi dengan kerelaan, tulus, tanpa pamrih, dan bukan dengan motivasi agar dipuji oleh orang lain, bukan karena rasa sungkan lalu Anda memutuskan untuk memberi, maka saat Anda membutuhkan, sebelum Anda memintanya pun, Allah akan menyediakan. Bila pemberian Anda sungguh-sungguh digerakkan oleh kasih, maka Allah pun akan memberi kepada Anda dengan limpahnya.

Bila ada kekuatiran di hati Anda akan hari esok, itu berarti Anda tidak percaya bahwa Allah sanggup memelihara hidup Anda. Saya teringat akan kesaksian seorang ibu. Ia bersaksi bahwa suatu hari Roh Kudus berbicara kepadanya agar ia mengambil seluruh tabungannya dan menabur untuk pembangunan gereja. Semula ia ragu, karena tabungan itu ia kumpulkan sedikit demi sedikit untuk masa pensiun, untuk berjaga-jaga kalau ia sakit di masa tuanya. Saat ia merasa ragu, Roh Kudus berbicara dengan lembut kepadanya, “Apakah engkau ragu kalau Aku sanggup memelihara engkau seumur hidupmu?” Ibu ini bersaksi betapa ia merasa tertempelak oleh suara Roh Kudus yang menegurnya agar tidak meragukan kasih dan pemeliharaan Allah dalam hidupnya.

Dalam hidup saya pun terkadang timbul pikiran seperti itu. Dari hari ke hari saya tidak semakin muda, yang jelas bertambah tua. Kadang saya berpikir, “Kalau saya terus menolong orang lain, saat saya tua nanti siapa yang akan memelihara hidup saya?” Tapi Roh Kudus selalu mengingatkan saya akan Yesaya 46:4, “Sampai masa tuamu Aku tetap Dia dan sampai masa putih rambutmu Aku menggendong kamu.”  Dan ternyata Allah memang setia, setiap kali saya menaati suara Roh Kudus untuk memberi, berkat Allah tercurah dengan limpahnya dalam kehidupan saya. Saya tak pernah berkekurangan, Allah memberikan kepada saya jauh melebihi apa yang dapat saya bayangkan. Luar biasa bukan?

KESIMPULAN: 

Jangan segan untuk memberi. Jangan biarkan keegoisan kita, sifat kita yang suka menghakimi orang lain, kekerasan hati kita, dan kekuatiran hidup menghalangi kita untuk memberi dan menolong orang lain. Latih terus kepekaan kita akan suara Roh Kudus dengan terus belajar taat akan tuntunan-Nya. Percayalah bahwa Allah itu setia, Allah akan selalu memelihara hidup kita. Amin.